Punthuk Setumbu dan Haskel Westlake

Punthuk Setumbu mirip dengan buku Capitalism without Capital The Rise of the Intangible Economy yang ditulis Jonathan Haskel and Stian Westlake, masing-masing profesor Imperial College dan peneliti Nesta, di Inggris.  Paling tidak ada tiga kemiripan.  Pertama, Punthuk Setumbu  merupakan lokasi yang tepat menyaksikan keindahan terbitnya matahari diantara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi dengan Candi Borobudur sebagai aksentuasinya.  Capitalism without Capital merupakan buku yang tepat menyaksikan keindahan konsep kapitalisme tanpa modal uang, dengan kemampuan pikiran manusia sebagai aksentuasinya.

Kedua, Punthuk Setumbu terkenal dengan pemandangan indah salah satu keajaiban dunia Candi Borobudur yang tidak lagi difungsikan sebagai rumah ibadah. Ada pula Gereja Burung yang juga tidak lagi difungsikan sebagai rumah ibadah.  Kapitalisme yang awalnya identik dengan dominasi para pemodal besar, dalam buku ini peran sentral uang digeser oleh kemampuan pikiran manusia membuat disain, branding, dan software.

Setelah Borobudur dan Gereja Burung dialih fungsikan, Punthuk Setumbu menjadi magnet besar menarik banyak kunjungan manusia lintas agama.  Setelah Kapitalisme tidak lagi identik dengan pemodal besar, muncullah magnet besar yang mengundang menjamurnya perusahaan rintisan.  Startup companies inilah yang mendorong revolusi besar teknologi saat ini.

Ketiga, Punthuk Setumbu menjadi terkenal setelah diangkat dan dikemas dalam romantisme sebuah film yang menceritakan kekuatan cinta.  Banyak perusahaan rintisan menjadi terkenal karena dikemas dalam romantisme kisah perjuangan para perintisnya yang menceritakan kekuatan keyakinan dan cinta dalam mewujudkan mimpinya.

Pasar tidak membeli sekedar produk dan jasa mereka, tapi pasar membeli karena kisah heroik para perintis yang berada dibalik produk dan jasa tersebut. Hampir semua perusahaan rintisan dilekatkan pada romantisme perjuangan para pendirinya.

Tiga tahun sebelum buku Capitalism without Capital diterbitkan pada tahun 2017, Xueguang Zhou dan Yun Ai, masing-masing peneliti Universitas Stanford dan Chinese Academy of Social Sciences, telah menulis penelitian mereka “Capitalism without Capital: Capital Conversion and Market Making in Rural China”.   Mereka menemukan dua kunci keberhasilan desa-desa menjadi lumbung hasil pertanian padahal desa-desa tersebut dalam keadaan kesulitan keuangan yang kronis.

Pertama, mekanisme saling memberi (gift exchange) yang mirip dengan konsep gotong royong. Hubungan yang dibangun masyarakat desa tidak bersifat transaksional, satu transaksi selesai.  Tapi dibangun berdasarkan hubungan tolong menolong jangka panjang.  Kebutuhan akan rumah tidak dipenuhi dengan meminjam uang untuk membeli rumah, tapi dengan bergantian saling membantu membuat rumah.

Kedua, mekanisme bayar tangguh (credit taking) yang mirip dengan konsep ijon atau jual beli salam dalam syariah.  Dalam bentuk yang paling sederhana dikenal konsep kasbon.  Kebutuhan membeli pupuk tidak dipenuhi dengan meminjam uang untuk membeli pupuk, tapi dengan membeli pupuk yang akan dibayar ketika panen.

Bila Haskel dan Westlake meneliti kekuatan pemikiran individu sebagai modal penting yang akan menggeser peran sentral modal berbentuk uang, Zhou dan Ai meneiliti kekuatan kolektif masyarakat dapat menggeser peran sentral modal berbentuk uang.

Indonesia memiliki keduanya.  Kreatifitas individu Indonesia sangat menonjol dalam bidang seni budaya dan pengobatan tradisional.  Di jaman digital inipun kreatifitas Indonesia sangat menonjol di bidang perusahaan rintisan berbasis teknologi. Kekuatan kolektif masyarakat juga bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari adat budaya Indonesia.

Michael Roberts dalam artikelnya “Capitalism without capital – or capital without capitalism?” melihat dari sudut pandang yang berbeda.  Kapitalisme tanpa modal uang tetap saja kapitalisme dalam konteks hubungan majikan dan buruh. Bedanya sekarang majikannya tidak harus selalu yang memiliki uang banyak, tapi yang memiliki modal pemikiran dan kekuatan untuk mewujudkannya. Modal uang tetap penting asalkan uang itu tidak dikelola dengan konsep kapitalisme yang menekan kepentingan buruh.

Kekawatiran Roberts ini sebenarnya dapat dikelola dengan baik bila konsep Haskel dan Westlake dipadukan dengan konsep Zhou dan Ai. Kecerdasan pemikiran individu diletakkan dalam keharmonisan hubungan jangka panjang.

John Bowen, profesor Universitas Washington, dalam risetnya “On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia” mencatat kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan keharmonisan hubungan bermasyarakat.  Riset yang mengambil kajian di Jawa Timur dan Aceh ini menjelaskan tiga konsep penting yaitu koperasi, musyawarah dan gotong royong sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Indonesia.

Helen James dan Douglas Paton dalam buku mereka The Consequences Of Disasters menjelaskan peran mendasar konsep gotong royong dalam membangun kembali Bantul setelah musibah gempa bumi tahun 2006 yang ditulis oleh Tajuddin Nur Effendi dan tim.

Adiyanti Sutandyo Buchholz dalam risetnya “Collective Activity as a Traditional Knowledge Behind Physical Design” menjelaskan melalui kegiatan gotong royong terjadi transformasi ilmu sehingga menjadi pengetahuan yang dimiliki bersama secara kolektif.  Terlibat dalam kegiatan gotong royong ibarat ikut sekolah gratis tentang cara membangun rumah, membuat irigasi dan aktivitas lainnya.

Punthuk Setumbu mencerminkan kekayaan budaya Indonesia.  Punthuk berarti tanah yang ‘mawur’, tidak padat dan tidak pula mudah terurai seperti halnya pasir.  Budaya yang mawur, tidak hanya menonjolkan kemampuan pikiran individu sehingga mudah terurai, tidak pula padat tertutup menjadi masyarakat yang terisolasi dari pengaruh budaya luar.

Indonesia memiliki intangible economy yang berlimpah sebagaimana berlimpahnya tangible economy berupa sumber daya alam. Gejolak mata uang dunia serta perebutan pengaruh AS dan Cina, seharusnya mendorong kita memperkuat kekayaan intangible Indonesia untuk melindungi kekayaan tangible.

Jalaludin Rumi mengingatkan “Bila kau mencintai uang lebih dari segalanya, maka kau akan diperjual belikan.  Bila kau mencintai makanan sehingga enggan berbagi, maka kau tak lebih dari sepotong roti.  Inilah kebenaran yang sederhana. Apapun yang kau cintai, maka kau akan menjadi dia”.  Rumi mengakhirinya dengan pesan “The wealth within you, your essence, is your kingdom”.

Adiwarman Karim

Leave a Reply

Your e-mail address will not be published. Required fields are marked *