Investasi Dana Haji

Penggunaan dana haji untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur melalui instrumen keuangan sempat menjadi polemik.  Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV tahun 2012 tentang Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH Yang masuk Daftar Tunggu telah memberikan empat pedoman yang jelas.

Pertama, dana setoran haji adalah milik pendaftar (calon haji).  Kedua, dana tersebut boleh di tasharruf kan untuk hal-hal yang produktif, antara lain penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk.  Ketiga, hasil penempatan / investasi merupakan milik calon haji; sedangkan pemerintah sebagai pengelola berhak mendapatkan imbalan yang wajar / tidak berlebihan.  Keempat, dana tersebut tidak boleh digunakan untuk keperluan apapun kecuali untuk membiayai keperluan yang yang bersangkutan.

Dua tahun kemudian, pedoman ini terasa gaungnya dalam Undang-undang No.34 tahun 2014.  Mengikuti pedoman butir pertama, UU ini juga menegaskan dana haji merupakan dana titipan jamaah haji (pasal 7), sedangkan BPKH adalah wakil yang sah jamaah haji (pasal 6).  Bahkan BPKH harus menyediakan rekening virtual bagi jamaah haji untuk memastikan terpisahnya dana jamaah haji yang dikelolanya dengan dana operasional BPKH.

Yang dimaksud dengan rekening virtual adalah rekening bayangan yang terhubung dengan rekening induk. Rekening virtual memiliki nomor identifikasi BPKH yang dibuka oleh bank atas permintaan BPKH untuk selanjutnya diberikan oleh BPKH kepada Jemaah Haji sebagai nomor rekening tujuan penerimaan nilai manfaat atas hasil investasi.

Butir kedua tentang kebolehan men tasharruf kan dana haji juga diadopsi oleh UU Pengelolaan Keuangan Haji. Butir kedua yang berbunyi “antara lain penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk” diterjemahkan dalam pasal 48 yang mengatur “Penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya.”

Memang terdapat celah penafsiran lain.  Pedoman MUI “hanya memberi contoh” dengan frasa “antara lain” investasi di instrumen keuangan syariah, sedangkan UU membuka juga peluang untuk investasi “emas, investasi langsung dan investasi lainnya”.  Meskipun tidak bertentangan dengan Pedoman MUI, celah penafsiran ini sempat menimbulkan polemik tentang penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur.

Celah penafsiran lain ini sebenarnya telah dibatasi oleh UU itu sendiri.  Pasal 48 memberi batasan harus “dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.”  Beberapa pasal lain juga menekankan pentingnya aspek likuid dari invetasi yang dilakukan.

Secara portofolio dana haji dapat dibagi menjadi tiga jenis.  Pertama, dana jangka pendek yang biasanya ditempatkan dalam produk perbankan syariah agar likuid.  UU memberi amanat BPKH wajib mengelola dan menyediakan Keuangan Haji yang setara dengan kebutuhan 2 (dua) kali biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (pasal 47).  Untuk mengelola risiko nilai tukar dolar, penempatan ini dapat dilakukan dalam mata uang rupiah dan dolar sesuai kebutuhan.  Penempatan jangka pendek ini lazimnya memiliki imbalan yang rendah dibandingkan dua jenis investasi lain.

Kedua, dana jangka menengah yang dapat diinvestasikan dalam bentuk sukuk atau surat berharga syariah lainnya.  Lazimnya dana ini mempunyai horizon investasi 3-7 tahun.  Sukuk negara untuk infrastruktur merupakan salah satu pilihan.  Dengan perhitungan cermat, investasi dapat dilakukan pada sukuk negara rupiah dan sukuk negara dolar.  Penempatan jangka menengah ini memiliki imbalan lebih tinggi daripada jenis pertama.

Ketiga, dana jangka panjang dapat diinvestasikan dalam saham yang diperdagangkan, mezzanine, reverse mezzanine atau sejenisnya yang syariah, baik yang terkait langsung atau tidak langsung dengan kegiatan haji. Ini merupakan pemahaman “investasi langsung dan investasi lainnya” dalam pasal 48.  Emas, meskipun bersifat likuid, masuk pada investasi jangka panjang karena horizon investasi yang menguntungkan berada pada kisaran 8-10 tahun.  Penempatan jangka panjang ini memiliki imbalan tertinggi dibandingkan jenis pertama dan kedua.

Pemahaman lain misalnya BPKH memiliki badan usaha sendiri untuk menjalankan bisnis, misalnya operator jalan tol atau operator bandara, akan bertentangan dengan kewenangan yang diberikan UU. Kewenangan yang diberikan kepada BPKH hanya “menempatkan dan menginvestasikan” dan “melakukan kerja sama dengan lembaga lain dalam rangka pengelolaan Keuangan Haji” (Pasal 24).

Pemahaman lain misalnya memiliki jalan tol tanpa menjadi operator nya, memang masih dapat dimasukkan dalam tafsir “investasi langsung dan investasi lainnya”, namun akan bertentangan dengan pasal-pasal lainnya karena menambah risiko bagi BPKH berupa risiko bisnis termasuk risiko kepailitan.  Lebih dari itu, UU membatasi Keuangan Haji hanya ada tiga “penerimaan, pengeluaran, kekayaan”. Padahal bila memiliki badan usaha sendiri tentu juga akan menimbulkan “kewajiban” selain “kekayaan”.

Pemahaman lain yang masih bisa diterima adalah memiliki saham perusahaan yang tidak diperdagangkan.  Misalnya saham bank syariah yang tidak diperdagangkan di bursa.  Meskipun pemahaman ini dapat diterima, ia akan membuka celah hukum.  Pertama, saham nya bersifat tidak likuid.  Kedua, tidak ada harga pasar saham nya sehingga membuka peluang valuasi yang over atau under valuation.  Pilihan pemahaman ini masih dapat dilakukan dengan mitigasi risiko yang memadai, termasuk pembatasan nilai investasi yang tidak signifikan.

Misi membantu bank syariah tetap dapat dilakukan melalui kepemilikan-kuasi berupa sub-ordinated sukuk, misalnya sukuk berudurasi 8 tahun dengan call option 4 tahun, dapat diakui sebagai tambahan modal bank syariah tersebut.  Instrumen reverse mezzanine berupa diminishing participation atau musyarakah mutanaqisah yaitu penyertaan saham dengan jadwal konversi menjadi sukuk dan / atau jadwal pembelian kembali saham, juga merupakan pilihan.

Pengelolaan dana sejenis ini (bersifat jangka panjang, berjumlah masif, risiko minimal) sudah lazim dilakukan oleh pengelola SWF (Sovereign Wealth Fund).  Dana-dana milik pemerintah jenis ini di berbagai negara dikelola secara professional dan prudential. Enam yang terbesar yaitu Norwegia 922 milyar dolar, Cina 813 milyar dolar, Abu Dhabi 828 milyar dolar, Kuwait 524 milyar dolar, Saudi 514 milyar dolar, dan Hongkong 456 milyar dolar.

Belajar dari pengelolaan SWF ini, dana haji dapat membantu keperluan pembiayaan pembangunan airport, pelabuhan, jalan tol, properti akomodasi jamaah haji, bahkan pembelian pesawat terbang yang semuanya terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan haji.

Instrumen keuangan nya pun tidak terbatas pada sukuk negara dalam jangka menengah, dapat juga berupa real estate investment trust syariah (REITS) negara dan infrastructure investment trust syariah (IITS) negara bila diterbitkan di kemudian hari.

Dengan semakin efisien biaya logistik akibat infrastruktur yang lebih baik, akan terbuka peluang untuk  membiayai peternakan hewan kurban untuk di ekspor sebagai pasokan hewan bagi jamaah haji yang membayar denda haji tamatu’.  Selama infrastruktur belum baik maka biaya ekspor hewan ke Arab Saudi dari Australia dan Selandia Baru akan lebih murah daripada dari Indonesia.

Satu per satu bisnis yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan kegiatan haji dapat lebih efisien melalui portofolio investasi dana haji yang dikelola secara jujur dan cerdas.  Bagi pengurus BPKH kita doakan “bismillahi majreha wa mursaha inna rabbi laghafurur rahim”.

Adiwarman A. Karim

Leave a Reply

Your e-mail address will not be published. Required fields are marked *