Tahun 2018 ini ditutup dengan pergeseran pendulum ke arah ketidakpastian. Pertama, ketegangan politik dan ekonomi AS dan Cina mulai terasa pada level akar rumput setelah ditahannya petinggi Huawei di Kanada atas permintaan AS. Kedua, Brexit dan pergeseran politik di benua Eropa. Ketiga, rencana penarikan pasukan AS dari Suriah dan ketegangan di Timur Tengah. Keempat, padatnya jadwal pemilu di negara-negara berkembang di tahun 2019 yang diwarnai oleh perebutan pengaruh mitra asing.
Lima negara dengan defisit transaksi berjalan terbesar, the Fragile Five, akan melakukan pemilu di tahun 2019. Pilkada Turki pada Maret, Pilpres Indonesia pada April, Pilpres India dan Afrika Selatan pada Mei, dan Pilpres Argentina pada Oktober.
Defisit transaksi berjalan yang besar dapat menjadi pintu masuk mitra asing untuk mempengaruhi jalannya pemilu melalui masuk dan keluarnya dana asing dalam jumlah besar. Pergerakan dana asing ini menimbulkan ketidakstabilan mata uang negara-negara tersebut.
Bila calon petahana yang disukai mitra asing, dana akan masuk dan bertahan sampai pemilu selesai sehingga nilai tukar mata uang domestik menguat, dan baru keluar lagi perlahan setelah pemilu. Terkesan ekonomi membaik sebagai keberhasilan kinerja petahana.
Bila sebaliknya, dana asing akan masuk sehingga mata uang domestik menguat, kemudian keluar serentak sebelum pemilu sehingga mata uang domestik terpuruk. Terkesan ekonomi memburuk sebagai kegagalan petahana.
Biasanya hot money ini masuk empat bulan sebelum pemilu, sehingga diperkirakan nilai tukar Lira Turki dan Rupiah akan menguat di akhir tahun 2018. Rupee India dan Rand Afrika Selatan akan menguat pada kuartal pertama 2019. Peso Argentina akan menguat pada kuartal ketiga 2019. Dana itu akan keluar sesuai skenario, dan akan kembali stabil enam bulan setelah pemilu.
Langkah antisipasi telah dilakukan dengan memperkuat aliran dolar AS berjangka panjang. Pemerintah menerbitkan serangkaian Surat Utang Negara dalam dolar AS sejumlah 3 milyar dolar AS. Ada yang tenor 5, 10 dan 30 tahun.
Sedangkan langkah antisipasi untuk menjaga kestabilan rupiah dilakukan oleh BI dengan berbagai instrumen moneter, termasuk memperkenalkan Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) dan Sukuk BI.
Tahun 2018 juga ditutup dengan kepastian kelanjutan kerjasama dengan Freeport. Pertama, Pemerintah akan menerbitkan IUPK dengan masa operasi maksimal 2 kali10 tahun sampai tahun 2041 sehingga ada kepastian investasi. Kedua, Freeport wajib membangun pabrik peleburan (smelter) tembaga berkapasitas 2 sampai 2,6 juta ton per tahun, ditargetkan selesai kurang dari 5 tahun.
Ketiga, pemerintah memberikan kepastian mengenai kewajiban perpajakan dan kewajiban bukan pajak baik di tingkat pusat dan daerah yang menjadi kewajiban Freeport. Keempat, kepastian roadmap pengelolaan masalah lingkungan hidup yang terdampak operasi Freeport.
Untuk membeli saham Freeport, Inalum menerbitkan serangkaian obligasi senilai 4 milyar dolar AS dengan tenor 3, 5, 10 dan 30 tahun yang memiliki tingkat kupon berbeda.
Memiliki rating sama BBB- dari Fitch, misalnya untuk yang tenor 30 tahun global bond Inalum senilai 750 juta dolar AS membayar kupon 6,75%, sedangkan global bond Pertamina dalam jumlah dan tenor sama membayar 6,5%. SUN global bond dengan rating lebih baik yaitu BBB dari Fitch, senilai 1 juta dolar AS tenor 30 tahun membayar kupon 5,35%.
Berbagai langkah antisipasi telah dilakukan pada akhir tahun 2018 dengan harga dan upaya yang sungguh-sungguh. Namun jumlah itu masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan hot money yang di tahun pilpres 2014 mencapai hampir 45 milyar dolar AS. Separuh dana ini kemudian keluar pada tahun 2015. Bila tahun 2019 ini transaksi valas di pasar modal mencapai 50 milyar dolar AS berarti hampir setara dengan separuh cadangan devisa Indonesia.
Rangkaian bencana alam dan pergeseran peta kekuatan dunia seakan mengirim pesan penting kepada bangsa Indonesia untuk bersatu bahu membahu menghadapi nya. Ibarat satu bangunan yang saling mengokohkan. Ibarat satu tubuh yang tidak ingin saling menyakiti perasaan bagian tubuh yang lain. Bila perasaan kolektif sebagian anak bangsa tersakiti, maka sulit mengharapkan sikap kolektif bangsa untuk menghadapi tantangan bencana alam dan tekanan eksternal.
Rasulullah SAW pernah mengingatkan “Banyak kaum sebelum kalian yang hancur karena menegakkan hukum dengan keras bila pelakunya dari kalangan orang lemah. Namun bila pelakunya dari kalangan orang terhormat, hukum yang sama tidak mereka laksanakan”. Tidakkah kita takut akan doa orang yang terzalimi, apalagi doa koletktif orang-orang yang terzalimi. Wahai Indonesia tercinta, maafkan kami.
Adiwarman A. Karim