Indonesia 2030

Kejayaan Indonesia di tahun 2030 diprediksi oleh banyak pihak, termasuk buku Ghost Fleet.  Kejayaan itu akan sirna bila Indonesia terpecah belah ibarat lepasnya Timor Timur, yang dalam istilah mereka disebut “the second Timor war”.

McKinsey dalam risetnya “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential” memprediksi ekonomi Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar ke-7 pada tahun 2030.  Perekonomian terbesar dunia secara berurutan yang diukur berdasarkan PDB menurut riset itu adalah Cina, AS, India, Jepang, Brazil, Rusia, dan Indonesia.

Pricewaterhouse Coopers dalam risetnya “The Long View: How Will The Global Economic Order Change by 2050?” menggunakan ukuran lain dalam menghitung PDB, yaitu membandingkan kekuatan daya beli suatu negara atau dikenal sebagai Purchasing Power Parity.  Dalam riset ini mereka memprediksi Indonesia berada di urutan ke-5 di tahun 2030, dan ke-4 di tahun 2050.  Di tahun 2030 diperkirakan urutan ekonomi terbesar dunia adalah Cina, AS, India, Jepang, dan Indonesia.  Sedangkan di tahun 2050 diprediksi urutannya adalah Cina, AS, India, Indonesia, Brazil.

JPMorgan dalam risetnya “Asean’s Bright Future” menyebutkan tiga faktor pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Asean yaitu tenaga kerja yang berpendidikan, melimpahnya sumberdaya alam, dan lokasi geografis yang strategis.

Ada kesamaan diantara Cina, Brazil, Indonesia, dan India sebagai negara yang diprediksi akan menguasai ekonomi dunia.  Keempat negara ini sedang dan akan mengalami bonus demografi yaitu jumlah populasi usia produktif lebih banyak daripada usia non produktif.  Cina mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2016.  Brazil mengalami puncaknya di tahun 2032, Indonesia di tahun 2036, dan India di tahun 2052.  Populasi usia produktif ini dari sisi permintaan, berarti pasar yang sangat besar.  Dari sisi penawaran berarti tersedianya tenaga kerja untuk produksi yang juga sangat besar.

Dari sisi total populasi, negara-negara yang akan menguasai dunia di tahun 2030 ini juga memiliki kesamaan.  Cina dan India di kelas diatas 1  milyar yaitu masing-masing Cina miliki populasi 1,4 milyar jiwa, dan India 1,2 miliyar jiwa.  Di kelas diatas 200 juta jiwa dihuni oleh tiga negara.  AS dengan 313 juta jiwa, Indonesia 245 juta jiwa, dan Brazil 203 juta jiwa.

Dari sisi ideologi ekonomi, masing-masing negara juga memiliki nilai-nilai keyakinan yang hidup dalam masyarakatnya.  Cina dengan budaya ribuan tahun sangat kental dengan nilai-nilai Konfusiasme, India sejak lama identik dengan nilai-nilai Hinduisme, AS selama ratusan tahun sangat diwarnai dengan nilai-nilai neo-kapitalisme, Brazil sangat lekat dengan nilai-nilai Katolik, dan Indonesia tempat tumbuh suburnya nilai-nilai Islam.

Merujuk data pertumbuhan ekonomi negara-negara ekonomi terbesar dunia, selama kurun waktu tahun 2007-2016, hanya ada tiga negara yang tumbuh diatas 4 persen per tahunnya. Cina di urutan pertama dengan pertumbuhan 9,0%.  India dengan pertumbuhan 7,4%. Dan Indonesia dengan pertumbuhan 5,6%.  Brazil jauh dibawah hanya 2,0%, Rusia 1,6%, AS bahkan hanya 1,3%.

Merujuk data Bank Dunia dan IMF, pertumbuhan ekonomi global dalam kurun waktu 2017-2019 diprediksi masih ditopang oleh empat kekuatan besar.  Cina menyumbangkan 35,2% dari total pertumbuhan ekonomi dunia.  AS memberikan kontribusi 17,9%, India 8,6%, dan Uni Eropa 7,9% dari total pertumbuhan ekonomi dunia.  Di urutan ke-5 adalah Indonesia yang menyumbangkan 2,5% dari pertumbuhan ekonomi dunia.

Deloitte dalam riset mereka “Global Human Capital Trends 2017” menggambarkan pentingnya teknologi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.  Laju percepatan perubahan teknologi menduduki urutan pertama, jauh melebihi percepatan kapasitas individu di urutan kedua.  Generasi non-milenial harus bersusah payah menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi.

Percepatan bisnis di urutan ketiga tertatih-tatih menyesuaikan diri dengan cara kerja para milenial.  Dan kebijakan regulasi pemerintah berada pada urutan terakhir.  Tidak aneh bila kebijakan pemerintah  selalu tertinggal dalam menyikapi perubahan teknologi, perubahan generasi populasi, dan perubahan bisnis.

Dalam kaitan perubahan teknologi ini, merujuk pada Global Islamic Economy Report 2016/2017, Indonesia memiliki populasi millennial dengan keterlibatan tertinggi.  Gerakan ekonomi syariah di Indonesia ternyata mampu menarik paling banyak, secara proporsional, kaum milenial yang sangat akrab dengan teknologi dibandingkan negara-negara berpopulasi muslim lainnya.

Singer dan August Cole, penulis buku Ghost Fleet mengingatkan kita untuk mengantisipasi perseteruan antara dua raksasa ekonomi yaitu Cina dan AS.  Perebutan pengaruh dua raksasa ini akan terasa imbasnya pada negara-negara lain.  Indonesia sebagai salah satu negara besar di tahun 2030 juga akan ditarik-tarik masuk dalam perseteruan dua raksasa itu.

Buku yang ditulis dalam gaya novel dengan bahasa yang renyah ini ditulis berdasarkan dua buku mereka terdahulu yang lebih serius, yaitu Wired for War: The Robotics Revolution and Conflict in the 21st Century, dan Cybersecurity and Cyberwar: What Everyone Needs to Know. Itu sebabnya meskipun Ghost Fleet ditulis dalam gaya novel, memiliki catatan referensi sampai 400 end-notes.

Buku ini banyak mendapat pujian karena berhasil menggambarkan perseteruan kekuasaan dunia dengan bahasa yang mengalir sekaligus menyajikan data faktual sehingga membuat pembacanya larut seakan scenario itu benar-benar akan menjadi kenyataan.

Kritik tajam atas buku tersebut disampaikan Philip Michael Murphy dalam artikenya “Reading ‘Ghost Fleet’ is a Mistake”.  Kesalahan utama buku itu menurutnya adalah menganggap hanya Cina saja yang memiliki kemajuan teknologi sedemikan hebatnya, sedangkan teknologi AS diam di tempat.  Kesalahan asumsi inilah yang membuat skenario kekalahan AS.  Secara lebih rinci Murphy menyebutnya asimetris kapabalitias cyber, asimetris kemampuan informasi, dan asimetris niat dan tujuan.  Cina digambarkan sangat superior secara strategis, operasional dan taktis dibandingkan AS.

Terlepas dari kritik itu, buku ini sangat relevan untuk mengantisipasi ketahanan nasional Indonesia.  Penggunaan ibarat “the second Timor war” seakan mengingatkan kita untuk tidak berpecah belah, melepaskan diri satu per satu dari negara kesatuan republik Indonesia tercinta ini.  Bukankah dulu kita porak poranda berhasil dikuasai asing karena strategi devide et impera yang memecah belah Indonesia.

NIlai-nilai ekonomi syariah merupakan faktor perekat ketahanan ekonomi nasional.  Tidak perlu risau dengan peringkat buncit Indonesia dalam ekonomi syariah, atau pangsa pasar yang masih kecil.  Bukankah dulu di abad 18, AS juga peringkat buncit ekonomi dunia dibandingkan Belanda, Portugis, dan Spanyol. Indonesia, bersiaplah memimpin dunia di tahun 2030!

Adiwarman A. Karim

Leave a Reply

Your e-mail address will not be published. Required fields are marked *