Tim peneliti IMF dalam riset mereka “Fintech and Financial Services”, Juli 2017, menunjukkan tiga hal menarik yang harus diantisipasi akibat perkembangan fintech. Pertama, batasan antara jenis-jenis jasa keuangan semakin tidak jelas. Kedua, hambatan masuk ke industri jasa keuangan berubah dengan sangat cepat. Ketiga, transfer uang antar negara semakin mudah.
Hiroshi Nakaso, Deputy Gubernur Bank Sentral Jepang, dalam artikelnya “FinTech: Its Impacts on Finance, Economies and Central Banking” menjelaskan ada empat hal yang menyebabkan fintech berkembang sangat cepat. Pertama, unbundling & restructuring yaitu jasa keuangan yang tadinya dilakukan sebagai satu kesatuan oleh bank, saat ini dapat dilakukan bagian per bagian oleh fintech. Kedua, globalizing jasa keuangan yaitu kemudahan transaksi antar negara menggunakan fintech. Ketiga, personalizing jasa keuangan yaitu kemudahan transaksi secara personal menggunakan fintech. Keempat, virtualizing jasa keuangan yaitu fintech dapat menawarkan fungsi layanan layaknya bank virtual.
Majalah The Economist edisi Juni 2017 yang membahas “The Race to Become Islamic Banking’s Fintech Hub” menyiratkan peluang besar untuk Indonesia menjadi pemimpin pasar. Negara-negara Timur Tengah terlambat dalam mengantisipasi fintech, apalagi fintech syariah. Dari 50 trilyun investasi di fintech sejak tahun 2010, hanya satu persen saja yang mampir di Timur Tengah.
Jumlah pengguna internet di Indonesia 132 juta orang, pengguna telpon genggam 371 juta pelanggan, pengguna aktif media sosial 106 juta orang, dan rata-rata mengakses internet hampir 9 jam merupakan daya tarik yang sangat besar bagi perkembangan fintech di Indonesia.
Sampai dengan Januari 2017 jumlah masyarakat Indonesia yang berbelanja di e-commerce mencapai 25 juta orang yaitu 9% dari total populasi. Nilai transaksi mencapai 5,6 milyar dolar AS, padahal rata-rata pendapatan pengguna e-commerce hanya 228 dolar AS. Bayangkan besaarnya pasar fintech di tahun 2030 ketika Indonesia menjadi negara terbesar kelima perekonomiannya.
Innovate Finance & Red Money dalam riset mereka “The Islamic Fintech Landscape 2017” memperkuat prediksi ini. Setidaknya ada 103 fintech syariah yang tersebar di 24 negara. Dari jumlah itu, 18 berkantor pusat di Malaysia, 16 di Inggris, 15 di Indonesia, 12 di Uni Emirat Arab, 11 di Amerika Serikat.
Perkembangan fintech di Indonesia agak berbeda dengan di luar negeri. Fintech syariah di luar negeri didominasi oleh crowd-funding, yaitu 35%,. Di Indonesia ada 156 fintech konvensional dan syariah, yang didominasi 56% nya oleh payment, clearing & settlement.
Satu fintech syariah di bidang payment mengembalikan sertifikat syariah nya ke DSN-MUI setelah diakuisisi asing, satu fintech syariah di bidang yang sama sedang dalam proses perijinan BI. Satu fintech di bidang Peer to Peer Financing yang telah mendapat ijin OJK dalam proses rekomendasi syariah DSN, dan satu fintech di bidang yang sama dalam proses perijinan OJK dan rekomendasi DSN.
Jiaqi Yan, Wayne Yu, Leon Zhao, profesor Universitas Zurich dan para profesor Universitas City Hongkong, dalam buku mereka How Signaling and Search Cost Affect Information Asymmetry in P2P Lending, menunjukkan data calon peminjam dapat diperoleh dengan jauh lebih mudah dan murah oleh fintech sehingga dapat menurunkan risiko kredit macet. Kenyataan inilah yang diantisipasi oleh DSN dengan mengkaji dan merekomendasikan fintech syariah di bidang P2P.
Thomas Philippon, peneliti National Bureau for Economic Research, dalam risetnya “The Fintech Opportunity” mengingatkan otoritas moneter, otoritas jasa keuangan, dan tentunya DSN-MUI sebagai otoritas fatwa juga dapat mengambil pelajaran untuk antisipasi perkembangan fintech, bahwa regulasi yang ada harus segera disesuaikan dengan kemajuan teknologi.
Salah satu contoh yang sempat ramai di Indonesia adalah pengaturan biaya maksimal transaksi top up uang elektronik. Rapat Pleno DSN-MUI baru saja menyetujui Fatwa Uang Elektronik Syariah yang salah satunya mengatur hal tersebut.
Perbedaan penting yang menjadi keunikan Uang Elektronik Syariah ini adalah nilai uang tidak boleh hilang walaupun kartunya hilang. Implikasi dari ketentuan fatwa ini ada dua. Pertama, Uang Elektronik Syariah harus teregistrasi sehingga prinsip Know Your Customer terpenuhi sekaligus mengurangi risiko penyalah-gunaan. Kedua, data pemegang kartu dan nilai uangnya tersimpan di server sehingga nilainya terjaga.
Perbedaan lain yang sifatnya minor adalah biaya transaksi top-up dan tarik tunai “on us” yaitu di perangkat milik penerbit tidak dikenakan biaya. Sedangkan “off us” yaitu di perangkat bukan milik penerbit dapat dikenakan biaya.
Uang elektronik syariah menggunakan akad wadiah yang sifatnya titipan sehingga tidak boleh digunakan oleh penerbit kecuali dengan ijin pemilik dana. Jumlah dana float yaitu dana titipan yang belum digunakan oleh pemilik dana dibatasi jumlah maksimalnya. Bila dana ini dengan ijin pemiliknya digunakan oleh penerbit, maka diberlakukan akad qard.
Yang menarik dalam prakteknya ternyata ada tiga pihak yang terlibat. Pertama, penerbit Uang Elektronik sebagai pihak yang menerima wadiah atau qard. Kedua, pemegang kartu sebagai pemilik dana yang memberikan wadiah atau qard. Ketiga, merchant yaitu penjual barang dan jasa yang menerima pembayaraan dari pemegang kartu. Jadi, penerbit bukanlah pihak yang sama dengan penjual barang dan jasa. Dalam prakteknya merchant inilah yang memberikan diskon atau promosi kepada pemegang kartu, bukan penerbit yang memberikan diskon, promosi atau manfaat lainnya.
Dengan perubahan jaman, DSN-MUI sebagai otoritas fatwa melakukan antisipasi dengan ketentuan syariah yang tepat dan benar dengan mengkaji mendalam praktek yang terjadi. Tanpa memahami benar prakteknya, dapat saja fatwa nya tidak tepat meskipun dalil nya benar.
Misalnya, pajak di jaman Eropa kuno adalah pembayaran upeti dari orang miskin ke orang kaya. Pajak di Eropa setelah masuknya pengaruh Islam berubah dengan mengikuti filosofi zakat yaitu pembayaran dari orang kaya ke orang miskin. Fatwa tentang pajak jaman Eropa kuno tentu sangat berbeda dengan fatwa tentang pajak yang mengikuti filosofi zakat. Meskipun pajak tetap saja tidak sama dengan zakat.
Ibnul-Qayyim dalam kitab I’lamuul-Muwaqqi’in berkata, “Seorang mufti tidak akan bisa berfatwa dengan benar kecuali memiliki dua jenis pemahaman. Pemahaman tentang peristiwa yang terjadi (waqi’) dan fikih pada hal tersebut, dan pemahaman tentang hakikat peristiwa yang terjadi dengan qara’in (dalil-dalil), ciri-ciri dan tanda-tandanya sampai memiliki ilmu yang pasti tentangnya. As Syarbini dalam kitab Mughni Muhtaj berkata “Menghukumi suatu hal merupakan bagian dari bagaimana memahami gambaran prakteknya (Al-hukmu ‘ala syai’in far’un ‘an tashawwurihi).”
Adiwarman A. Karim