Filipe Campante dan David Yanagizawa, guru besar Universitas Harvard, dalam riset mereka “Does Religion Affect Economic Growth and Happines” dengan menggunakan data berbabagi negara muslim selama lebih dari 60 tahun menyimpulkan dua hal. Pertama, bulan Ramadan menurunkan produktivitas kerja karena jam kerja yang lebih pendek. Kedua, bulan Ramadan meningkatkan kebahagiaan masyarakat.
Beragamnya jam berpuasa menyebabkan beragamnya besaran penurunan produktivitas kerja. Pimkanok Piamjariyakul dalam artikelnya “The Impact of Ramadan on Indonesia” mencatat adanya penurunan produktivitas bulanan sebesar 7,7% di Mesir dan Pakistan karena pengurangan dua jam kerja. Sedangkan di Indonesia penurunan hanya 3,8% karena pengurangannya hanya satu jam.
Piamjariyakul juga mencatat tiga perubahan lain selama bulan Ramadan selain penurunan produktivitas. Pertama, penurunan jam kerja digunakan untuk menambah jam bersosialisi dengan keluarga, teman dan kerabat. Pergeseran penggunaan jam ini dapat meningkatkan kebahagiaan masyarakat. Kedua, perubahan pola belanja. Lebih banyak uang digunakan untuk membeli makanan dan hadiah. Ketiga, naiknya angka inflasi. Bertambahnya jumlah uang yang beredar akibat pembayaran THR mendorong naiknya permintaan terutama makanan, pakaian, traveling yang mendorong naiknya harga-harga.
Tradisi buka puasa bersama merupakan yang dilakukan setiap hari sepanjang bulan Ramadan merupakan contoh penambahan jam bersosialisasi sekaligus peningkatan belanja makanan. Tradisi ini juga meningkatkan permintaan akan jasa transportasi. Mall dan restoran memperpanjang jam opersional malamnya.
Semakin berkembangnya tradisi buka puasa gratis di masjid-masjid menghidupkan bisnis makanan. Pemesanan nasi kotak meningkat drastis untuk berbuka dan sahur. Hal ini juga menunjukkan semakin tingginya kemampuan dan preferesi sebagian masyarakat untuk berbagi. Setelah pelaksanaan sholat tarawih permintaan makanan dan minuman juga naik.
Shelina Janmohamed, penulis buku Generation M: Young Muslims Changing the World, menyimpulkan bahwa bulan Ramadan merubah keseluruhan gaya hidup yang membawa dampak ekonomi positif. Janmohamed, konsultan pemasaran Ogilvy Noor, dalam risetnya “The Great British Ramadan” memperkirakakan kenaikan permintaan £200 juta tiap Ramadan yang meliputi pembelian financial planning dan asuransi, makanan, baju, mainan dan berbagai hadiah.
Yuswohady, Iryan Herdiansyah, Farid Fatahilah, para konsultan Inventure, merumuskan Muslim Jaman Now sebagai orang yang Faith dan Fun. Mereka loyal mengikuti keyakinan & iman mereka, dan pada saat yang sama mereka mengikuti trend gaya hidup terkini tentang fashion, musik, seni, tehnologi.
Yuswohady mencatat beberapa hal yang menarik. Pertama, meningkatnya kesadaran akan nilai-nilai keyakinannya sehingga para produsen harus menyiapkan produk yang sharia-friendly. Kedua, meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan yang dilengkapi dengan pendidikan karakter Islami. Soleh-smart Kids adalah anak idaman Muslim Jaman Now. Ketiga, meningkatnya kesadaran bahwa Muslim Jaman Now sebaga bagian dari masyarakat modern dan memiliki mindset global, dapat mewarnai budaya modern & global dengan nilai-nilai yang mereka yakini.
Ketiga hal ini menjadikan Muslim Jaman Now tidak merasa canggung karena mereka bukan sekedar mengikuti trend gaya hidup terkini, namun yang paling penting adalah mereka ikut memberikan warna perubahan pada trend gaya hidup.
Ramadan juga membantu bank sentral dalam mengelola peredaran uang. Tradisi menukarkan uang baru hanya terjadi pada momen Ramadan. Uang cetakan baru masuk ke peredaran, uang lusuh kembali ke bank sentral. Dikombinasikan dengan tradisi mudik, tanpa banyak disadari para pemudik ini banyak membantu pekerjaan bank sentral mendistribusikan uang cetakan baru sampai ke pelosok-pelosok desa. Secara moneter Ramadan memberikan dampak ganda. Pertama, jumlah uang yang beredar bertambah. Kedua, kecepatan perputaran uang juga bertambah.
Tradisi mudik mendorong hidupnya bisnis wisata. Tiket, hotel, jasa transportasi, dan bisnis makanan minuman, serta penjualan oleh-oleh sepanjang jalan mudik merupakan bisnis besar. Bengkel kendaraan bermotor, penjualan uang digital. Penugasan petugas yang melayani tradisi migrasi besar-besaran setahun sekali ini memberikan banyak efek ekonomi berantai.
Di beberapa daerah Ramadan juga berarti berbenah rumah, mengganti perabot, mirip dengan tradisi yang sama menjelang Imlek. Di semua daerah Ramadan berarti berbenah rumah ibadah. Penggunaan listrik perumahan meningkat, apalagi listrik rumah ibadah. THR dan bisnis di bulan Ramadan menimbulkan efek berantai yang pada akhirnya bukan saja mengkompensasi penurunan produktivitas yang dikatakan Campante dan Yanagizawa, bahkan menghidupkan sendi-sendi perekonomian yang hanya terjadi di bulan Ramadan. Produktivitas menurun tapi perdagangan dan konsumsi meningkat melebihi penurunannya sehingga secara keseluruhan perekonomian bergerak, dan yang paling penting kebahagiaan masyarakat meningkat.
Piamjariyakul tidak keliru ketika menyimpulkan “Ramadan mempunyai peranan penting dalam membantu perekonomian Indonesia bangkit kembali dari kelesuan melalui peningkatan perdagangan dan konsumsi”.
Ramadan memang bulan penuh berkah. Pintu surga terbuka lebar, pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu. Suasana politik keamanan yang sempat memanas menjelang Ramadan, mulai terasa sejuk. Kebaikan demi kebaikan berkembang menenggelamkan keburukan-keburukan. Kebesaran dan kelapangan jiwa mulai menggantikan kesempitan dan kekerdilan jiwa. Kemurah-hatian dan kedermawanan mengisi relung-relung kosong kekikiran dan ketamakan.
Ramadan jelas bukan sekedar ritual ibadah memperbanyak sholat tarawih dan mengkhatamkan Quran. Ramadan memberikan dampak ekonomi yang besar menggerakkan kembali perekonomian yang sedang terkena imbas perang dagang negara-negara adidaya.
Sepatutnyalah kita berterimakasih kepada seluruh masyarakat yang telah menghidupkan bulan Ramadan. Rasulullah SAW bersabda, “siapa yang tidak dapat berterimakasih kepada manusia, pada hakekatnya dia tidak bersyukur kepada Allah”.
Adiwarman A. Karim