Sara Moricz dan Fredrik Sjöholm, peneliti Lund University Swedia, dalam penelitian mereka “The Effect of Elections on Economic Growth: Results from a Natural Experiment in Indonesia” menemukan hal menarik tentang dampak pilkada dengan pertumbuhan ekonomi. Pertama, pilkada tidak memberikan dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Kedua, pilkada memberikan memberikan dampak walaupun kecil terhadap tata kelola pemerintahan. Ketiga, pemimpin terpilih melalui pilkada langsung belum tentu lebih berkualitas daripada melalui pemilihan tidak langsung.
Hal ini menarik karena kucuran dana untuk operasional pilkada ternyata hanya memberikan dampak sesaat berupa tambahan likuiditas namun tidak memberikan dampak nyata dalam pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga berlaku umum di negara-negara lain.
Brandice Canes-Wrone dan Christian Ponce de Leon, peneliti di Princeton University AS, melakukan uji di 16 negara OECD dan 56 negara non OECD dalam kurun waktu 1975-2012. Dalam penelitian mereka “Elections, Uncertainty, and Economic Outcomes”, menemukan fenomena menarik. Pertama, upaya petahana melakukan ekspansi ekonomi sebelum masa pemilihan ternyata tidak memberikan dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Kedua, ketidakpastian kebijakan selama masa pemilihan mendorong pengusaha menahan investasi dalam bentuk capital expenditures, bahkan di negara-negara OECD mengalami penurunan. Sedangkan pengeluaran lainnya tidak terpengaruh, bahkan konsumsi masyarakat dalam barang pakai-habis (non-durable) meningkat tajam.
Brandon Julio dan Youngsuk Yook, masing-masing peneliti di London Business School dan Sungkyunkwan University, dalam penelitian mereka “Political Uncertainty and Corporate Investment Cycles” menemukan hal yang sama. Dengan menggunakan data 100.000 perusahaan mereka menemukan adanya penurunan dalam belanja barang modal (capital expenditures) selama kurun waktu menjelang pemilihan.
Canes-Wrone dan Jee-Kwang Park dalam penelitian nereka “Electoral Business Cycles in OECD Countries”, menyebut pola perilaku penurunan belanja barang modal itu sebagai “reverse electoral business cycle”. Untuk mengamankan kelangsungan bisnisnya, para pengusaha tidak jarang mendukung lebih dari satu calon pemimpin karena ketidakpastian hasil pemilihan.
Lain halnya bila petahana gagal dalam memenuhi aspirasi masyarakat. Timothy Hellwig, peneliti di Indiana University dalam penelitiannya “Elections and the Economy”, menemukan bahwa pemilih akan “menghukum” petahana dengan tidak memilihnya lagi. Keadaan ekonomi yang buruk seringkali menjadi faktor kebersamaan yang dirasakan pemilih untuk tidak memilih lagi petahana.
Perilaku menahan investasi sampai jelas hasil pemilihan berdampak pada meningkatnya likuiditas di perbankan. Huseyin Gulen dan Mihai Ion, peneliti di Purdue University, dalam penelitian mereka “Policy Uncertainty and Corporate Investment” menemukan dampak langsung kurun waktu menjelang pemilihan. Pertama, meningkatnya likuiditas yang dipegang masyarakat. Kedua, menurunnya pinjaman berupa penerbitan obligasi atau kredit perbankan. Hal ini selanjutnya akan melambatkan ekonomi.
Memahami keadaan sektor swasta yang cenderung menahan investasinya, maka peran investasi pemerintah menjadi sangat penting untuk mengimbangi surutnya peran swasta dan untuk memberikan pesan kuat ke pasar tentang kelanjutan dan kelangsungan pembangunan ekonomi. Walaupun penurunan investasi swasta itu sifatnya sementara, namun perekonomian dapat kehilangan momentum dan memerlukan waktu panjang untuk mengembalikan momentum tersebut.
Art Durnev, peneliti University of Iowa, dalam penelitiannya “The Real Effects of Political Uncertainty: Elections and Investment Sensitivity to Stock Prices” menggunakan data 466 pemilihan di 79 negara dalam kurun waktu tahun 1980 sampai dengan 2006 untuk melihat respon investasi swasta terhadap proses pemilihan. Hasilnya menarik.. Pertama, investasi swasta menjadi lebih sensitif sampai 40% dalam kurun waktu pemilihan. Hal ini cukup mengejutkan melihat angka 40% yang berarti hampir separuh dari seluruh investasi swasta.
Kedua, penurunan sensitivitas investment to price dalam masa pemilihan disebabkan ketidakpastian politik yang diterjemahkan kedalam ketidakpastian harga saham. Semakin besar ketidakpastian hasil pemilihan akan semakin besar ketidakpastian harga saham.
Ketiga, di negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi, peran BUMN yang besar, dan lemahnya standar transparansi keterbukaan para politisi, maka ketidakpastian akan semakin besar dan selanjutnya diterjemahkan dalam ketidakpastian harga saham yang juga semakin besar. Dimasukkannya faktor peran BUMN yang besar dengan asumsi pergantian pimpinan akan diikuti dengan perubahan arah dan organisasi BUMN.
Perbankan dan keuangan syariah harus dapat mengambil peran dalam kurun waktu ini. Pertama, dari sisi pendanaan untuk mengoptimalkan peningkatan likuiditasnya, mengambil manfaat dari banyaknya likuiditas di pasar. Kedua, ikut serta dalam membiayai proyek-proyek pemerintah yang banyak dilakukan saat ini mengimbangi sektor swasta yang masih menunggu hasil pemilihan.
Proyek-proyek infrastruktur pemerintah semakin kuat amplitudonya dengan adanya persaingan ekonomi Cina dan Amerika Serikat untuk menjadi pempimpin ekonomi dunia. One Belt One Road (OBOR) yang digagas pemerintah Cina merupakan dampak dari kemajuan ekonomi Cina yang mengubah keseimbangan ekonomi dunia. Agar pertumbuhan ekonomi Cina tetap terjaga maka negara-negara mitra di lintasan OBOR harus dibantu pembangunan infrastrukturnya agar dapat menurunkan biaya logistik dan transaksi antara Cina dan negara-negara di lintasan OBOR. Untuk itu Cina berinisiatif mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank.
Bagi negara-negara di lintasan OBOR tentu ini menjadi tantangan peluang sekaligus ancaman. Pada saat yang sama Indonesia juga berpacu untuk menurunkan biaya transaksi antar pulau dengan pembangunan infrastruktur. Indonesia menjadi sangat penting karena diantara negara-negara di lintasan OBOR, Indonesia merupakan negara perekonomian terbesar dari dua sisi. Pertama, pasar yang sangat besar karena populasinya. Kedua, proyek infrastruktur terbesar karena luas wilayahnya. Kerjasama dengan Cina harus menempatkan kepentingan nasional sebagai panglima, dan menyadari pentingnya peran Indonesia dalam kesuksesan OBOR. Oleh karenanya, negosiasi bisnis harus didasari pada kesadaran ini sehingga Indonesia diuntungkan dan memasukkan nilai syariah dalam kerjasama-kerjasama tersebut.
Masuknya Cina sebagai investor dengan skema syariah dapat meningkatkan citra Cina di dunia keuangan syariah terutama di negara-negara di lintasan OBOR yang mayoritas penduduknya muslim. Posisi strategis dan sejarah panjang hubungan Cina – Indonesia, dapat menjadikan Indonesia rujukan keuangan syariah di negara-negara lintasan OBOR. Bismillah…
Adiwarman Karim