Douglas Diamond dan Yusuf Mansur

Douglas Warren Diamond, profesor Universitas Chicago penemu Diamond–Dybvig model, dalam risetnya yang fenomenal “Banks and liquidity creation” menjelaskan pentingnya kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank untuk menjaga likuiditas bank tersebut. 

Yusuf Mansur seakan mengamini Diamond, ajakannya untuk rame-rame nabung bareng di bank syariah mendadak menjadi viral. Ramainya respon positif atas ajakan ini menegaskan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan syariah.

Kepercayaan ini segera menepis berbagai hoax yang sempat beredar tentang sistem perbankan syariah. Hal ini menunjukkan tiga hal. Pertama, brand equity bank syariah memiliki nilai yang tinggi di mata masyarakat.  Kedua, hoax akan segera sirna ketika dihadapkan pada fakta.  Ketiga, masyarakat dapat secara proporsional menilai kelebihan dan kekurangan yang ada pada suatu bank syariah.

Robert Merton, profesor Universitas Columbia penemu istilah self-fulfilling prophecy, dalam bukunya Social Theory and Social Structure mengingatkan sebuah bank dapat mengalami penarikan dana besar-besaran oleh nasabahnya walaupun sekedar diawali oleh hoax. Menurut Merton, meskipun nasabah tahu bahwa hal itu hanya hoax, namun bila nasabah berpikir nasabah lain akan percaya akan hoax itu maka mereka mempunyai insentif untuk ikut menarik dananya.

Mervin King, mantan gubernur bank sentral Inggris, dalam wawancaranya dengan Financial Times, “The only way to stop a eurozone bank run” menjelaskan bahwa tidak ada rasionalitas menarik dana besar-besaran hanya didasari hoax, tapi ia menjadi sangat rasional untuk ikut menarik dana ketika penarikan besar-besaran mulai terjadi.

Yusuf Mansur tampaknya paham betul hal ini dengan menghadapkan hoax dengan fakta.  Zoe Chase dalam artikelnya “Three ways to stop a bank run”, menyarankan tiga cara untuk memerangi hoax yang dapat menimbulkan penarikan besar-besaran. Pertama, menghadapkan hoax dengan fakta.  Kedua, melakukan tindak nyata yang berkebalikan dengan hoax.  Ketiga, menjelaskan secara proporsional hal yang terjadi.

Ada perbedaan yang sangat mendasar antara pembiayaan bermasalah dengan likuiditas bermasalah yang dihadapi oleh suatu bank. Pembiayaan bermasalah biasanya disebabkan oleh dua hal.  Pertama, keadaan ekonomi yang memburuk yang merupakan faktor eksternal.  Kedua, kapasitas internal bank yang lemah dalam mengelola pembiayaan. Ibarat penyakit asma bila dikelola dengan baik, penderita asma tetap dapat hidup dengan normal. Bila tidak dikelola dengan baik maka kualitas hidupnya akan memburuk.  Namun jarang sekali orang yang mati karena sakit asma.

Sebaliknya, likuiditas bermasalah biasanya disebabkan oleh dua hal yang sama sekali berbeda.  Pertama, hilangnya kepercayaan nasabah yang berakibat terjadinya penarikan besar-besaran.  Kedua, kapasitas internal bank yang lemah dalam mengelola likuiditas. Ibarat orang yang kehilangan darah akibat kecelakaan.  Bila tidak segera dihentikan pendarahannya, hampir dapat dipastikan orang itu akan mati kehabisan darah walaupun sebelum kejadian itu ia sehat segar bugar tanpa suatu penyakit.

Yang terjadi di beberapa bank syariah saat ini adalah pembiayaan bermasalah yang dengan berbagai upaya perbaikan mulai menampakkan hasil positif. Yang juga terjadi di perbankan syariah saat ini adalah tingginya kepercayaan masyarakat yang tercermin dari pertumbuhan dana pihak ketiga di perbankan syariah.

Membiarkan sakit asma tanpa penanganan yang baik memang dapat menimbulkan komplikasi penyakit jantung dan stroke.  Faktanya, pembiayaan bermasalah di beberapa bank syariah telah menunjukkan perbaikan yang signifikan.

Edward Kane, profesor emeritus di Boston College, dalam risetnya “What Lessons Should Japan Learn from the U.S. Deposit-Insurance Mess?” memperkenalkan istilah zombie bank bagi bank yang terkena “stroke”.  Bank Zombie adalah bank yang memiliki nilai neto ekonomis dibawah nihil tapi masih dapat tetap beroperasi bahkan bertumbuh karena adanya dukungan pemerintah secara tersurat maupun tersirat.  Faktanya, nilai neto ekonomis di bank syariah yang menjadi sasaran hoax masih bernilai positif dan memenuhi ketentuan regulasi untuk beroperasi normal.

Bank yang terkena serangan asma akut biasanya ditangani dengan memilah menjadi dua bagian, “good bank” dan “bad bank”.  Ibarat pasien asma akut dibedakan antara kegiatan-kegiatan yang “baik” boleh tetap dilakukan dan kegiatan yang “dapat memicu” tidak boleh dilakukan sampai dengan serangan asma nya berhasil diatasi.

Strategi pemisahan good bank dan bad bank telah lazim digunakan di seluruh belahan dunia.  Tujuannya ada tiga.  Pertama, good bank fokus pada operasional normal sedangkan bad bank fokus pada pemulihan pembiayaan bermasalah.  Kedua, buku bank tidak terbebani oleh pembiayaan bermasalah karena telah dipindahkan ke bad bank yang pemulihannya memakan waktu beberapa kuartal. Ketiga, tingkat pemulihan bad bank dapat optimal sehingga hasilnya memperkuat good bank pada gilirannya.  Ketiga hal ini akan memberikan kepastian kepada investor baru yang akan masuk.

Gabriel Brenna, Thomas Poppensieker, Sebastian Schneider dalam riset mereka “Understanding the bad bank” menjelaskan mekanisme kerja bad bank dengan mengisolasi aset-aset tidak likuid dan beresiko tinggi.

Eddie Cade dalam bukunya Managing Banking Risks: Reducing Uncertainty to Improve Bank Performance menjelaskan strategi pemilahan good bank dan bad bank secara empiris dapat membawa hasil yang sangat baik.

Bradley DeLong dan Paul Krugman, masing-masing profesor di Universitas California Berkeley dan di Universitas City of New York, menyarankan menggunakan pendekatan good bank dan bad bank yang berhasil diterapkan Swedia. Bank Retriva dan Bank Securum dijadikan bad bank, sedangkan Bank Nordea sebagai good bank. Hasil akhirnya menggembirakan.  Bank Nordea menjadi salah satu bank terkuat dan berkinerja terbaik di Eropa.  Sedangkan Bank Retriva dan Bank Securum berhasil mencatatkan keuntungan.

Clas Bergström, Peter Englund, Per Thorell dalam riset mereka “Securum and the way out of the Swedish Banking Crisis” malah memuji strategi itu sebagai penyelamat krisis perbankan di Swedia. Sean Hagan dan Christopher Towe, peneliti IMF, dalam riset mereka “An overview of bank Insolvency” memuji singkatnya waktu dan efisiennya biaya pemulihan perbankan di Swedia.

Stefan Ingves dalam risetnya “Finansiella kriser i ett internationellt perspektiv” menjelaskan keberhasilan Bank Nordea menjadi bank terkuat dan berkinerja terbaik di Eropa karena dua hal.  Pertama, tidak terbebani oleh pembiayaan bermasalah yang telah dipindahkan ke bad bank. Kedua, fokus pada pertumbuhan yang sehat dan menguntungkan.

Ajakan Yusuf Mansur untuk rame-rame menabung di bank syariah patut diacungi jempol. Langkah tersebut sesuai dengan teori ekonomi perbankan, sangat membantu otoritas dalam mengelola industri perbankan syariah, dan yang paling penting, menunjukkan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan syariah.

Adiwarman A. Karim

Leave a Reply

Your e-mail address will not be published. Required fields are marked *