Clayton Christensen, profesor Harvard Business School, memperkenalkan istilah disruptive innovation dalam bukunya The Innovator’s Dilemma. Semakin mudahnya akses internet telah mendorong munculnya bisnis model baru yang memanfaatkan aplikasi teknologi.
Inovasi ini merusak tatanan pasar yang ada dengan menciptakan pasarnya sendiri, yang pada akhirnya akan menggusur para pelaku bisnis yang selama ini menjalankan bisnisnya secara tradisional.
Dulu satu rumah hanya ada satu telepon dan kita mengeluh tentang sulitnya mendapat sambungan baru serta tarif yang terus naik. Saat ini satu orang memiliki lebih dari satu telepon genggam. Ketika kita mulai mengeluh jangkauan sinyal telepon genggam dan tarif sms, teknologi baru memungkinkan mengirim pesan dan telepon melalui aplikasi.
Christensen menyimpulkan, bila penantang pasar memilih untuk melakukan strategi sustaining innovation, inovasi yang sekedar mengikuti dan menyempurnakan pemimpin pasar, maka kecil kemungkinannya dapat mengalahkan pemimpin pasar.
Sebaliknya bila penantang pasar memilih untuk melakukan strategi disruptive innovation, inovasi yang mamanfaatkan aplikasi sederhana menggarap segmen pasar bawah yang selama ini tidak digarap serius pemimpin pasar, maka besar kemungkinannya mengalahkan pemimpin pasar.
Disruptive Innovation seringkali bergerak jauh lebih cepat daripada regulasi. Jean Tirole, profesor Universitas Toulouse dan pemenang Nobel tahun 2014, menjelaskan perlunya regulasi yang mengatur perusahaan yang melakukan disruptive innovation yang memanfaatkan satu platform bisnis untuk dua pasar yang berbeda.
Google dapat digunakan secara gratis untuk mendapatkan sebanyak mungkin pengguna. Jumlah yang banyak ini dan profil pengguna sesuai kebiasaannya membuka laman tertentu, kemudian menjadi daya tarik kuat bagi pemasang iklan AdWords dan AdSense. Pemasang iklan tertartik karena iklan nya akan dibaca oleh pengguna yang sesuai profilnya, dan biaya yang kecil yaitu berapa kali iklan itu dibuka (pay per click).
Di pasar pertama digratiskan, di pasar kedua keuntungan diraih. Semakin sering suatu kata kunci diketik dalam pencarian semakin mahal biaya iklannya. Tiga kata kunci terbanyak adalah insurance (24%), loans / pinjaman (13%), mortgage / kredit rumah (9%).
Bank Syariah awalnya juga dipandang sebagai suatu disruptive innovation, walaupun saat ini tampaknya bank syariah lebih mengarah pada sustaining innovation. Meniru apa yang ada di perbankan konvensional. Keunikan bank syariah belum dimanfaatkan optimal karena keterbatasan teknologi.
Deposito bagi hasil yang merupakan keunikan bank syariah malah mengikuti pergerakan kompetitif tingkat suku bunga. Dengan sistem pool of fund, maka bank syariah membayarkan bagi hasil yang sama kepada deposannya berdasarkan jangka waktu, sebagaimana lazim di bank konvensional.
Beberapa laman crowd funding malah menawarkan sistem bagi hasil yang beragam sesuai dengan bisnis yang dipilih. Pemilik dana dapat memilih bisnis tertentu dan mendapat bagi hasil sesuai dengan profitabilitas bisnis tersebut.
Dengan perkembangan teknologi saat ini, seyogyanya bank syariah dapat melakukan disruptive innovation. Nasabah dapat mengalokasikan dana tabungannya ke deposito melalui telepon genggamnya, memilih sendiri bisnis apa yang akan dibiayai dengan tingkat bagi hasil dan risiko yang dikehendakinya.
Untuk menjadi disruptive innovation ada dua cara. Pertama, menggarap segmen pasar kelas bawah yang dibaikan kebanyakan bank konvensional. Kedua, menciptakan pasar baru dengan menarik bukan nasabah bank menjadi nasabah bank.
Disruptive innovation yang berhasil memang memerlukan modal yang besar. Google Map dan Google Earth memerlukan modal yang besar tapi pada saat yang sama menciptakan halangan masuk yang besar sehingga pesaing tidak dapat meniru begitu saja.
Untuk bank syariah, adanya dana haji sejumlah 70 trilyun merupakan modal awal yang bagus. Sifat dana haji yang jangka panjang dan selalu bertambah, dapat dipandang sebagai kuasi modal. Dengan regulasi kecukupan modal 12,5% berarti kemampuan tambahan bank syariah ekspansi mencapai delapan kali dana haji yaitu 560 trilyun. Tanpa disruptive innovation, maka dana haji itu hanya akan mendorong asset bank syariah dua kali lipat yaitu tambahan 140 trilyun.
Disruptive innovation juga terjadi dalam ilmu fikih. Setelah jatuhnya Bani Abbasiyah di Baghdad dan dimusnahkan kitab-kitab khazanah keilmuan Islam oleh pasukan Hulagu Khan, para ulama fikih lebih banyak berkutat pada berlapis-lapis penjelasan untuk suatu masalah fikih kecil. Perdebatan fikih berputar-putar pada redaksional hadits bahkan pada redaksional kitab fikih masing-masing mazhab.
Sampai kemudian para ulama melakukan disruptive innovation berupa ilmu kaidah fikih yang menyusun rumus-rumus fikih dengan memahami maksud hakikinya. Abdurrahman Jalaluddin Suyuti menulis buku Asybah wan Nazair merupakan tokoh utama ilmu kaidah fikih ini.
Istilah ini pertama kali digunakan oleh Umar bin Khattab RA ketika melantik Abu Musa al Asy’ari menjadi qadi di Basra, “Pahami asybah wan nazair (penampakan dan kemiripan) suatu masalah, kemudian tetapkan qiyas untuk masalah yang serupa”.
Disruptive innovation menuntut keyakinan untuk berjalan didepan, keberanian melakukan suatu yang baru, dan perhitungan yang cermat. Sustaining innovation jauh lebih mudah dilakukan, namun kita akan terus berada dibelakang. Disruptive innovation memang lebih sulit dilakukan, namun besar kemungkinannya akan menjadi pemimpin pasar.
Kaidah fikih nya “Bila tidak dapat melakukan kebaikan sepenuhnya, jangan tinggalkan kebaikan itu sepenuhnya”. Seberapa kecilpun disruptive innovation akan memberi inspirasi untuk inovasi berikutnya. Allah SWT berfriman dalam hadits qudsi, “Amalkan apa yang kalian ketahui, niscaya akan Aku beritahu apa yang belum kalian ketahui”.
Adiwarman A. Karim