Rapat The Fed, Bank Sentral AS, pada 31 Juli – 1 Agustus yang baru lalu menarik disimak untuk memahami apakah kegaduhan perang dagang AS-Cina akan mengarah ke perang dagang skala penuh atau sekedar keperluan elektabilitas Partai Republik pada midterm election yang akan berakhir 6 November.
Notulen rapat The Fed menunjukkan kegaduhan perang dagang akan menimbulkan sentimen bisnis yang negatif, penurunan investasi, peningkatan pengangguran, dan akhirnya menurunkan daya beli konsumen. Sektor yang akan paling merasakan dampak balasan tarif oleh Cina adalah sektor pertanian.
Negara Bagian yang akan paling merasakan dampak pengetatan impor barang dari Cina adalah Mississippi yang 76,4% impornya berasal dari Cina. Dua negara bagian lain yang akan terdampak adalah Virginia (44%) dan Illinois (36%), keduanya saat ini dikuasai oleh Partai Demokrat.
Negara Bagian yang akan paling merasakan dampak pengetatan ekspor ke Cina akibat balasan tarif adalah Alaska yang 26,8% ekspornya ke Cina. Tiga Negara Bagian lain, yang saat ini juga dikuasai Partai Republik adalah South Carolina (19,4%), Alabama (16,4%), dan Louisiana (13,6%). Empat Negara Bagian yang saat ini dikuasai Partai Demokrat juga akan terdampak yaitu New Mexico (27,8%),Washington (23,5%), Oregon (18%), dan Hawaii (13,1%).
Sebagian besar negara bagian tidak akan merasakan dampak signifikan dari perang dagang AS-Cina. Selain yang telah disebut, dari sisi ekspor ada 27 negara bagian yang porsi ekspor ke Cina hanya 5-10%, 14 negara bagian berkisar 1-5%, dan 1 negara bagian yaitu Washington DC dibawah 1%.
Dari sisi impor, 5 negara bagian porsi impor dari Cina berkisar 10-22%, 17 negara bagian 5-10%, 22 negara bagian hanya 1-5%, bahkan 2 negara bagian yaitu Idaho dan Kentucky dibawah 1%.
Dari analisis ini tampaknya kegaduhan perang dagang AS-Cina lebih merupakan panggung depan untuk menunjukan kedigdayaan AS di mata rakyatnya, tanpa risiko yang berlebihan terhadap perekonomian AS. Popularitas dan elektabilitas dapat diperoleh tanpa pengorbanan signifikan perekonomian AS. Dengan demikian dapat diduga kegaduhan perang dagang ini akan mereda setelah midterm election di AS.
Kedigdayaan ekonomi AS yang dapat dicitrakan sebagai kemenangan dalam perang dagang AS-Cina, sebenarnya lebih disebabkan oleh kebijakan The Fed menghentikan Pelonggaran Moneter yang sejak tahun 2015 secara bertahap menaikkan tingkat suku bunganya.
Kebijakan ini berhasil menarik kembali dana-dana AS yang berada di luar negeri, sedemikian rupa menguatkan perekonomian AS, sehingga The Fed mulai kawatir bila penguatan ekonomi ini terus berlangsung dapat melewati batas tertinggi inflasi AS sebesar 2%.
Perang dagang AS-Cina berskala penuh tampaknya tidak akan terjadi, seberapa besarpun nasionalisme AS. Pertama, perang dagang akan berujung pada perang mata uang, dan perang mata uang sulit dimenangkan AS. Dolar AS adalah mata uang dunia yang tidak dapat dilemahkan atau dikuatkan begitu saja oleh the Fed karena diperdagangkan luas di seluruh dunia. Sedangkan Yuan Cina yang peredaran nya tidak semasif dolar AS dalam perdagangan internasional, dapat lebih mudah dikontrol bank sentral Cina untuk dilemahkan nilainya bila terjadi perang mata uang.
Pada semester pertama tahun ini, Cina membiarkan Yuan melemah 9 persen terhadap dolar AS, nilai terendah Yuan dalam beberapa tahun terakhir, sehingga harga barang-barang Cina yang diekspor menjadi lebih murah untuk mengimbangi penerapan tarif yang dikenakan oleh AS.
Kedua, perang dagang skala penuh akan merugikan semua pihak. Simulasi yang dilakukan Gary Hufbauer memperkirakan Cina akan kehilangan sepertiga ekspornya ke AS senilai 200 milyar dolar AS per tahun dan pengangguran meningkat 4 juta orang. AS akan kehilangan sepertiga ekspornya senilai 50 milyar dolar AS per tahun dan pengangguran naik 250 ribu orang. Secara nominal kerugian Cina lebih besar, namun secara sistem sosial politik, kemampuan Cina menyerap kerugian tersebut lebih baik dari pada AS. Pemerintah dalam sistem sosial politik AS lebih rentan kehilangan dukungan rakyatnya karena suku bunga telah tinggi tapi ekonomi melemah kembali. Sistem politik Cina lebih lebih solid menghadapi perang dagang skala penuh.
Yang sebenarnya terjadi adalah perang perebutan pengaruh antara AS dan Cina. Untuk menyalurkan produknya Cina melakukan kebijakan One Belt One Road (OBOR) agar dapat menurunkan biaya transportasi dari Cina ke Timur Tengah, Afrika dan Eropa melalui jalur laut dan jalur darat. Sehingga produk-produk Cina dapat lebih murah di negara-negara tersebut. Pasar dunia dapat direbut Cina dari dominasi AS dan sekutu Barat nya.
Untuk itu negara-negara yang dilewati OBOR yang belum memiliki fasilitas pelabuhan laut dalam untuk kapal-kapal Cina, atau jalur kereta api yang memadai, akan ditawari pembangunan infrastruktur. Manfaat langsung tentu akan dirasakan oleh Cina dan negara-negara mitra. Namun hal ini dirasakan sebagai ancaman bagi dominasi pengaruh AS.
Soliditas domestik dan kepiawaian menjaga keseimbangan kepentingan AS – Cina oleh pemerintah di negara-negara berkembang menjadi kunci sukses ketahanan nasional suatu negara. Besarnya dana-dana AS dan sekutunya di pasar modal negara-negara berkembang menjadi alat posisi tawar.
Di Indonesia, misalnya, kepemilikan asing dalam surat utang negara hampir mencapai 40 persen. Bila bandul keseimbangan bergerak terlalu jauh ke arah kepentingan Cina, maka dapat saja terjadi capital flight dengan menjual surat utang negara, kemudian menarik dananya dalam bentuk dolar AS keluar. Akibatnya nilai rupiah akan melemah, inflasi naik, likuiditas mengetat. Ekonomi yang melemah akan menurunkan elektabilitas petahana. Bila pemerintahan baru terpilih dan mengembalikan keseimbangan pengaruh, maka dana akan masuk kembali, rupiah menguat, perekonomian menuju keseimbangan baru.
Sebaliknya, bila bandul keseimbangan bergerak terlalu jauh ke arah kepentingan AS, maka pembangunan infrastruktur yang didanai oleh Cina akan terhenti. Komponen pembiayaan yang sifatnya lokal dan yang sifatnya talangan oleh BUMN akan terdampak akibat tertundanya penyelesaian proyek yang berarti tertundanya kemampuan pembayaran kembali. Dalam jangka pendek tidak ada capital flight, elektabilitas petahana tinggi. Namun setelah pemilihan dapat timbul kesulitan menyelesaikan proyek-proyek yang telah dimulai.
Keseimbangan terbaik adalah menggunakan teori optimal portofolio dengan memaksimalkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Perlu rumusan yang disepakati agar black market perebutan pengaruh oleh para broker informasi dan modal dapat diminimalkan. Untuk itu kedua pasangan capres cawapres perlu duduk bersama merumuskannya sehingga siapapun yang terpilih, bangsa dan negara lah yang menjadi pemenang sesungguhnya. Sungguh Allah sebaik-baik perencana.
Adiwarman A. Karim