Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia Kedua pada tahun 1945 memicu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan ratusan tahun. Kekalahan Turki dalam Perang Dunia Pertama pada tahun 1923 memicu berdirinya Republik Turki.
Kini kedua negara dengan mayoritas penduduk muslim ini menjadi andalan negara-negara Islam di jajaran negara G-20, klub elit duapuluh negara terbesar perekonomian nya di dunia. Menurut data IMF tahun 2018, Indonesia di urutan ke 16, sedangkan Turki di urutan ke 18.
Kedua negara memiliki beberapa kemiripan. Pertama, besaran perekonomian dan level kemajuan ekonomi. Kedua, mayoritas penduduk muslim Populasi Indonesia 250 juta sedangkan Turki 80 juta. Ketiga, turbulensi ekonomi akibat perang dagang AS-Cina terasa dampaknya pada perekonomian domestik.
Keduanya juga memiliki beberapa perbedaan. Pertama, geografis Turki di Barat dekat dengan lokasi konflik panjang Timur Tengah. Geografis Indonesia di Timur dekat dengan lokasi berpotensi konflik Laut Cina Selatan. Kedua, Turki baru melewati gejolak politik domestik yaitu percobaan kudeta dan pemilu. Indonesia baru melewati pilkada serentak yang tenang serta menuju pilpres dan pileg serentak. Ketiga, rasio hutang luar negeri terhadap PDB Indonesia mencapi 29 persen, sedangkan Turki 70 persen.
Kemiripan dan perbedaan Indonesia – Turki ini mengingatkan kita akan kekhalifahan Bani Abbasiyah di Timur yang berpusat di Baghdad (750-1258 M) dan kekhalifahan Bani Umayyah II di Barat yang berpusat di Andalusia (929-1031M). Keduanya runtuh diawali dengan pelemahan ekonomi dan perselisihan politik domestik.
Pelemahan ekonomi terasa di Indonesia dan tentunya di Turki akibat Perang Dagang yang diinisiasi AS. Pertama, kenaikan ganda tingkat suku bunga yaitu bunga acuan bank sentral AS sekaligus bunga obligasi pemerintah AS, melemahkan kurs mata uang rupiah dan lira Turki. Kedua, pengenaan tariff terhadap impor baja dan alumumium oleh AS, termasuk dari Turki, langsung menggoncang ekonomi Turki.
Gary Hufbauer penulis, buku Bridging the Pacific: Toward Free Trade and Investment between China and the United States, memberikan analisa menarik. Perang dagang AS-Cina akan merugikan kedua negara. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Pertama, Cina akan kehilangan sepertiga ekspornya ke AS yaitu 200 milyar dolar AS per tahunnya. Korporasi-korporasi CIna akan mencari pasar baru seperti Turki dan negara-negara yang terdampak negative akibat kebijakan dagang AS. Namun dalam dua atau tiga tahun masa transisi itu, empat juta pekerja CIna akan kehilangan pekerjaan, banyak korporasi gulung tikar.
Kedua, ekspor AS akan turun sampai sepertiganya yaitu 50 milyar dolar AS per tahunnya. Sekitar 250 ribu pekerja AS akan kehilangan pekerjaan. Kebangkitan ekonomi domestic AS yang baru dirasakan akibat kenaikan suku bunga akan segera sirna. Dukungan politik domestik akan berkurang karena tingkat suku bunga telah tinggi tapi ekonomi kembali melemah.
Ketiga, jika korporasi AS mengantisipasi perang dagang akan berkepanjangan maka mereka akan menggeser produksi mereka ke negara-negara berbiaya murah seperti Vietnam, Malaysia, Indonesia, Mexico, Peru. Akan lebih banyak lagi pabrik di AS yang tutup, dan pekerja kehilangan pekerjaan.
Keempat, korporasi Cina yang saat ini membeli input barang berteknologi tingggi dari AS akan mencari pemasok baru dari Korea Selatan, Kanada, Australia. Produsen domestik akan didorong untuk menjadi pemasok pengganti walaupun dengan harga lebih tinggi.
Kelima, jika skenario terburuk terjadi dengan pengenaan tarif 25 persen atas impor dari semua negara, maka ekonomi dunia akan mengalami resesi. Korporasi besar akan menunda investasinya dan menunggu sampai turbulensi ekonomi berhenti untuk melakukan investasi baru. Ketika dua negara dengan perekonomian terbesar terlibat perang dagang, maka korporasi cenderung memegang likuiditas dan menahan investasi.
Kembali pada runtuhnya Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah II yang diawali dengan pelemahan ekonomi dan perselisihan politik domestik. Rasio hutang luar negeri terhadap PDB Turki memang jauh diatas Indonesia. Namun perselisihan politik domestik sebenarnya yang menjadi awal kerapuhan ekonomi Turki dalam menghadapi turbulensi ekonomi global.
Rasio hutang luar negeri terhadap PDB Indonesia memang jauh lebih kecil, namun bila terjadi perselisihan politik domestik maka ia akan menjadi pintu masuk pelemahan ekonomi. Semua menteri bidang ekonomi dan gubernur bank sentral memahami benar risiko turbulensi ekonomi global yang akan dihadapi. Konflik politik domestik akan membuat rentan ketahanan nasional terutama dalam menghadapi gejolak ekonomi global.
Bukankah bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan dapat menghancurkan Bani Abbasiyah setelah terjadi konflik politik domestik berkepanjangan yang diawali dengan terbunuhnya Al Muqtadir, khalifah Abbasiyah oleh pengawalnya sendiri.
Bukankah Los Reyes Católicos yang dipimpin oleh Fernando II dari Aragon dan Isabel I dari Kastilia dapat menghancurkan Bani Umayyah II setelah Hisyam al Mu’ayyad Billah naik tahta dalam usia sebelas tahun sehingga kekuasaan aktual berada di tangan para pejabat yang saling bertikai. Lihatlah bagaimana Muhammad bin Abi Amir menyingkirkan saingan-saingan politiknya yang melukai rasa keadilan rakyat walaupun banyak keberhasilan pembangunan. Dalam beberapa tahun saja, para penggantinya tidak sanggup memperbaiki keadaan sehingga negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan akhirnya hancur.
Kemerdekaan Indonesia yang diraih dengan perjuangan ratusan tahun tidak boleh dirusak oleh syahwat kekuasaan sesaat. Para pejuang telah syahid memberikan yang terbaik yang mereka miliki untuk bangsa ini. Pembangunan untuk mensejahterakan negeri ini hanya akan dapat memakmurkan bangsa bila dilakukan dengan merangkul semua anak bangsa. Pembangunan yang menyingkirkan sebagian dan mengangkat sebagian yang lain hanya akan menorehkan luka dalam hati sanubari rakyat. Biarlah semua anak bangsa mendapatkan kesempatan untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.
Ketika Umar RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “manakah sebaiknya yang aku korbankan, onta kesayanganku ini atau aku jual ontaku kemudian aku gunakan uangnya untuk membeli sepuluh onta biasa untuk aku korbankan semuanya sehingga lebih banyak dagingnya?”. Rasulullah SAW menjawab, “korbankan onta kesayanganmu”. Hanya dengan memberikan yang terbaik dengan ikhlas untuk bangsa ini, Allah menganugrahi kita dengan kemerdekaan. Merdeka dari syahwat kekuasan yang menyirkirkan, yang melenakan, yang memabukkan. Merdeka yang merangkul, yang mencintai, yang ikhlas.
Adiwarman A. Karim