Everybody Lies

Seth Stephens-Davidowitz dalam bukunya Everybody Lies menjelaskan bagaimana kita berbohong dalam pergaulan agar dapat diterima secara sosial, terutama untuk hal-hal yang sensitif.  Seth malah meyakini perilaku yang sebenarnya dapat ditunjukkan melalui perilaku orang di mesin pencari Google.  Misalnya, Seth menemukan di percakapan sosial media tentang suami selalu dikaitkan dengan hal-hal positif yang membanggakan keluarga.  Sebaliknya di mesin pencari, suami selalu dikaitkan dengan hal-hal negatif yang memalukan keluarga.

Di tahun 2016 dunia dikejutkan dengan kekalahan Hillary Clinton yang secara konsisten diunggulkan dalam berbagai jajak pendapat.  Publik di Indonesia juga terkejut dengan perolehan suara yang signifikan besar calon gubernur di Jawa Barat dan Jawa Tengah padahal secara konsisten diperkirakan mendapat suara sangat kecil dalam berbagai jajak pendapat.

Seth menekankan pentingnya memahami perilaku masyarakat melalui Data Besar yang diperoleh dari trending topik di mesin pencari Google daripada mempercayai hasil survei.  Buku Everybody Lies mengingatkan kita, bukan saja lembaga jajak pendapat yang dapat keliru, bahkan yang lebih mendasar lagi adalah responden yang disurvei tidak memberikan jawaban yang sebenarnya.

Viktor Mayer-Schönberger dan Kenneth Cukier dalam buku mereka, Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think, memperkuat pendapat Seth tent ng betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan Data Besar untuk memprediksi perilaku masyarakat.

Bila saat ini jajak pendapat masih menjadi primadona dalam Pilkada 2018, diperkirakan pada Pilpres 2019 penggunaan Data Besar akan menjadi salah satu faktor penentu kemenangan.  Yang memiliki peluang lebih besar untuk menang adalah yang paling dapat memahami perilaku masyarakat.

Bernard Marr dalam bukunya Data Strategy : How to Profit from a World of Big Data, Analytics and the Internet of Things, memberikan metode dan studi kasus keberhasilan penggunaan Data Besar.  Dalam bidang ekonomi, misalnya, suatu perusahaan pembiayaan berbasis teknologi tidak perlu repot-repot lagi meminta slip gaji dan keterangan bekerja untuk memberikan pembiayaan.  Perilaku calon nasabah yang diprediksi melalui perilakunya menggunakan handphone dan atau akun internetnya diyakini jauh lebih akurat.

Perang dagang AS dan Cina juga tidak terlepas dari analisa Data Besar.  Melemahnya dominasi ekonomi AS dan sekutunya di satu sisi, serta menguatnya pengaruh ekonomi Cina di sisi lain, dapat dengan mudah dibaca pada Data Besar mesin pencari Google.  Jack Ma, misalnya, saat ini lebih populer dibandingkan para tokoh bisnis AS.

Kekawatiran pasar akan dampak negatif perang dagang tergambar dari banyaknya yang mencari topik ini di mesin pencari.  Adam Slater, peneliti pada Oxford Economics, memperkirakan penurunan sampai dengan 4 persen perdagangan sekitar 800 milyar dolar AS, setara dengan penurunan 0,4 persen produk domestik bruto dunia.

Kekawatiran ini juga terlihat di pasar valas.  Pekan terakhir bulan Juni ini, spekulasi dolar AS bergerak liar dari short minus 7,1 milyar menjadi long plus 10,4 milyar.  Perubahan ini merupakan pergerakan  terbesar selama 15 tahun terakhir yang besaran pergerakannya setara dengan 4,2 sigma.  Beberapa hari setelah kejadian ini, Bank Indonesia terpaksa menaikkan tingkat suku bunga nya 0,5 persen untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak merosot terlalu dalam.  Rupiah melemah mencapai 14.400 per dolar AS.  Harga BBM pun segera naik dini hari keesokannya.

Tidak sulit untuk memperkirakan kejadian selanjutnya.  Pertumbuhan ekonomi akan melambat, rupiah melemah, inflasi meningkat, suku bunga naik, kredit macet mulai bermunculan.  Pada saat itu terjadi, survey manapun yang menyatakan rakyat puas dengan kinerja ekonomi pemerintah, patut diabaikan.  Analisa Data Besar lebih dapat dipercaya untuk memahami suara rakyat.

Penggunaan buzzer untuk merekayasa opini publik di media sosial, atau melalui media main-stream dengan opini yang ngotot mendukung pemerintah atau yang terus-terusan menghujat pemerintah, merupakan hal yang kontra produktif bahkan hanya menimbulkan gesekan berlebihan yang gaduh.

Perang dagang dan gejolak ekonomi global ini bukan suatu hal yang dapat diatasi dengan pencitraan dan pembentukan opini publik.  Bukan pula dengan debat ekonomi yang terus-terusan menyalahkan pemerintah di satu pihak dan yang selalu membenarkan pemerintah di pihak lain.  Kemenangan politik memang penting, tapi yang jauh lebih penting adalah kemenangan bangsa ini melewati perubahan dunia yang begitu cepat.

AS mengancam akan mengenakan tarif bea masuk 25 persen terhadap impor dari Cina senilai 34 milyar dolar AS.  Pengenaan tarif masuk ini akan diperluas bila Cina tidak mengikuti keinginan AS hingga mencapai nilai 550 milyar dolar AS, suatu nilai yang lebih besar dari nilai impor AS dari Cina tahun lalu yaitu 506 milyar dolar AS.  Pengenaan tarif ini juga akan diberlakukan pada negara lain.  Mudah diduga aksi balasan akan dilakukan negara-negara lain.  Itu sebabnya diperkirakan perdagangan dan PDB dunia akan menyusut.

Ada dua momen yang dapat dijadikan langkah strategis.  Pertama, kebijakan inklusif seluruh elemen bangsa dalam proses pembangunan.  Memenangkan akal sehat dan rasa keadilan jauh lebih penting daripada pendekatan formal hukum.  Diskusi tentang hutang Indonesia telah bergeser dari esensi nya.  Rasio hutang terhadap PDB dan rasio hutang terhadap APBN dengan merujuk angkanya masih dibawah angka yang diperbolehkan oleh Undang-undang, seakan menutup mata dari risiko gejolak ekonomi dunia.  Sebaliknya sikap nyinyir mempermasalahkan hutang dengan data dan analisa yang penuh emosi malah memperburuk keadaan.

Masyarakat awam memang tidak sepintar para ekonom, namun mereka memiliki kearifan yang muncul dari akal sehat dan rasa keadilan.  Kearifan kolektif masyarakat ini yang akan tercermin dari Data Besar merupakan perlawanan nyata masyarakat atas kebijakan yang mengusik akal sehat dan rasa keadilan.  Cukuplah keterkejutan hasil Pilkada menjadi pelajaran.  Ini bukan soal siapa menang siapa kalah, tapi kegagalan kita memahami kehendak rakyat melalui analisa Data Besar.  Lebih percaya pada survey padahal “everybody lies”.

Momen kedua adalah sidang tahunan IMF dan Bank Dunia bulan Oktober ini di Bali.  Indonesia sebagai tuan rumah memiliki posisi strategis untuk menyodorkan konsep dan mengajak seluruh dunia untuk mencegah perang dagang. Tata ekonomi baru yang memahami keresahan AS dan menyiapkan jalan keluar tanpa harus melakukan perang dagang.  Tata ekonomi yang memahami enerji besar Cina memperluas pengaruhnya di dunia tanpa menimbulkan reaksi yang mendorong terjadinya perang dagang.

Kepemimpinan Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika di tahun 1955 patut diulangi pada Oktober 2018 ini.  Tunjukkan kecerdasan dan kepemimpinan para ekonom Indonesia menyelamatkan dunia dari perang dagang, inilah kemenangan sebenarnya bangsa ini.

 

Adiwarman A. Karim

Leave a Reply

Your e-mail address will not be published. Required fields are marked *